Orang Kanaan

Science: Ancient DNA reveals fate of mysterious Canaanites

Siapakah keturunan orang Kanaan saat ini?

Sebuah studi yang baru saja dimuat di jurnal The American Journal of Human Genetics membandingkan pengurutan DNA (DNA sequencing) lima tengkorak dari Sidon, Lebanon dari 3700 tahun yang lalu dengan 99 orang dari Lebanon saat ini. Studi ini menyimpulkan bahwa orang Lebanon saat ini merupakan keturunan dari orang Kanaan (bdk. 1 Taw 1:13, “Kanaan memperanakkan Sidon, anak sulungnya”) dan menunjukkan kontinuitas genetik di populasi daerah ini.

Berbagai situs berita memberitakan bahwa penemuan ini menyangkal klaim Alkitab bahwa orang Kanaan telah punah oleh karena bangsa Israel. Ini merupakan interpretasi yang aneh, karena, terlepas dari kesejarahan perang besar Israel-Kanaan, Alkitab tidak pernah mengklaim bahwa orang Kanaan telah punah. Justru sebaliknya, penemuan ini konsisten dengan narasi di Perjanjian Lama, dimana Sidon termasuk salah satu daerah orang Kanaan yang belum direbut oleh orang Israel (Yos 13:1-7) dan dimana pada akhirnya orang Israel pun hidup berdampingan dengan orang Kanaan, saling mengawini dan ikut beribadah kepada allah orang-orang Kanaan (Hak 3:1-6).

Update: Berikut ikhtisar yang baik mengenai berita penemuan ini: Canaanites Among Us.

Pohon kehidupan

MS-DAR-00121-000-p36-Tree-of-Life

Sketsa ‘pohon kehidupan’ (tree of life) ini digambar oleh Charles Darwin pada tahun 1837, yaitu ketika ia mulai mengembangkan teori evolusi setelah pulang dari ekspedisi dengan kapal Beagle. Di sini kita melihat bagaimana Darwin mulai mengeksplorasi idenya dimana semua bentuk kehidupan di bumi pada akhirnya berasal dari nenek moyang yang sama (common ancestor), yang dapat diibaratkan dengan bagaimana semua batang dan ranting dari sebuah pohon berasal dari akar yang sama.

Yang menarik adalah coretan Darwin di atas sketsa ini. Ia menulis, “I think” (saya pikir begini), yang menunjukkan bagaimana ia sendiri pada waktu itu belum sepenuhnya yakin dan masih memiliki keraguan atas idenya ini. Di sini kita melihat karakter yang sepatutnya dimiliki oleh setiap ilmuwan, yaitu rasa ingin tahu (curiosity) yang disertai dengan kerendahan hati (humility). Bahwa perjalanan kita dalam mengeksplorasi alam semesta ini bisa salah arah, dan kita harus siap mengubah hipotesa kita jika data-data yang kita temukan ternyata berlawanan dengan hipotesa awal tersebut.

Nuh dan air bah global: Kisah Utnapisytim (2)

Utnapisytim adalah seorang karakter di Epik Gilgames, yaitu puisi epik dari Mesopotamia kuno dan salah satu karya literatur paling tua yang kita miliki saat ini. Epik ini ditulis kira-kira pada akhir milenium ke-3 SM pada masa dinasti Ur III (Sumeria) yang bercerita tentang seorang pahlawan, Gilgames, raja Uruk (kota yang dekat dengan Ur-Kasdim, asal Abraham).

Epik ini menceritakan petualangan Gilgames, raja Uruk yang tidak terlalu disukai oleh rakyatnya. Mereka mengeluh kepada ilah Anu, yang meresponi keluhan ini dengan menciptakan Enkidu, dengan tujuan agar Enkidu dapat menjadi musuh bebuyutan Gilgames dan mengalihkan perhatiannya agar Gilgames tidak menindas rakyatnya.

Namun, yang terjadi setelah Enkidu bertarung dengan Gilgames adalah sebaliknya. Mereka berdua malah menjadi sahabat dan bertualang bersama-sama. Dalam petualangan mereka, kegagahan Gilgames menarik perhatian ilah Ishtar, yang mencoba melamarnya. Gilgames menolaknya, dan Ishtar pun mengadu kepada ayahnya, yaitu Anu (!), supaya Anu balas dendam. Anu tidak ingin membunuh Gilgames, karena itu ia menghukumnya dengan membunuh Enkidu (yang diciptakannya).

Gilgames pun sangat terpukul dengan kematian Enkidu. Ia bukan saja kehilangan sahabatnya, namun sekarang ia juga menyadari bahwa ia pun bisa mati seperti Enkidu. Karena itu Gilgames memulai perjalanannya untuk menemukan rahasia hidup kekal, dan salah satu orang yang ditemuinya adalah Utnapisytim, satu-satunya orang yang tidak pernah merasakan kematian, yaitu karena ia pernah selamat dari air bah yang besar. Begini kisahnya.

Pada jaman dahulu kala, ilah-ilah memutuskan untuk mengirimkan air bah untuk memusnahkan manusia. Namun, ada satu ilah, yaitu Enki/Ea, yang membocorkan rencana ini kepada Utnapisytim. Ea menyuruh Utnapisytim untuk membangun sebuah bahtera yang berbentuk kubus yang besar untuk menyelamatkan dirinya, keluarganya dan hewan-hewan di bumi.

Setelah menyelesaikan bahtera ini dalam 7 hari, Utnapisytim beserta keluarganya dan hewan-hewan ini masuk ke dalam bahtera, dan hujan lebat pun mulai turun. Hujan dan badai ini berlangsung selama 7 hari, dan bahtera ini sampai ke gunung Nimush.

Utnapisytim kemudian melepaskan beberapa ekor burung untuk mengecek apakah sudah ada tanah kering di bumi. Pertama, burung merpati, kembali. Kedua, burung layang-layang, kembali. Ketiga, burung gagak, tidak kembali, yang menunjukkan bahwa sudah ada tanah kering.

Utnapisytim turun dari bahtera, dan hal pertama yang ia lakukan adalah mendirikan mezbah dan memberikan persembahan kepada ilah-ilah, yang menyenangkan hati ilah-ilah yang sudah lapar oleh karena sudah lama tidak menerima persembahan dari manusia (yang disebabkan oleh perbuatan ilah-ilah itu sendiri).

Di sisi lain, awalnya Ea dihukum oleh ilah Enlil karena telah membocorkan rencana ini ke Utnapisytim, tapi pada akhirnya Ea berhasil menenangkan Enlil, dan bahkan Enlil pada akhirnya mengaruniakan keabadian kepada Utnapisytim.

Dari sini, cukup jelas bahwa kisah ini memiliki berbagai kemiripan bahkan sampai level yang detil dengan kisah Nuh (walau tentunya ada berbagai perbedaan juga), dan selanjutnya kita akan mengulas bagaimana sepatutnya kita membandingkan dan membaca kedua kisah ini.

Nuh dan air bah global: Pengantar (1)

Untuk menggali kisah Nuh, kita akan mulai terlebih dahulu dengan konteks geografis yang lebih luas dari kisah ini, yaitu sungai Eufrat dan Tigris di peradaban Mesopotamia kuno.

Apa yang dinamai dengan Revolusi Neolitik, yaitu ketika sebagian umat manusia beralih dari kehidupan pemburu-pengumpul (hunter-gatherer) ke masyarakat berbasis agraria, dimulai sekitar 10 ribu tahun yang lalu di daerah Bulan Sabit Subur (Fertile Crescent), yaitu daerah yang meliputi Mesopotamia (sekitar sungai Eufrat dan Tigris; Irak saat ini), Levant (Siria/Israel/Palestina/Lebanon/Yordan saat ini), dan delta sungai Nil (Mesir saat ini). Karena itu daerah ini juga sering disebut tempat lahir peradaban (cradle of civilization).

Di sini domestikasi tanaman pertama kali terjadi, yang memungkinkan untuk manusia menetap di satu tempat tanpa berpindah-pindah, memulai proses spesialisasi pekerjaan (division of labor; tidak perlu semua orang untuk mengusahakan tanah, sebagian bisa mengerjakan hal yang lain; walau hal ini tidak berarti kualitas hidup masyarakat agraria serta-merta lebih baik daripada masyarakat pemburu-pengumpul), pembedaan kelas sosial, dan akhirnya membentuk kerajaan-kerajaan (dan agama-agama non-animistik/dinamistik). The rest, *literally*, is history (berhubung dari peradaban-peradaban kuno ini jugalah mulai muncul sistem tulisan, yang awalnya pada dasarnya bertujuan untuk administrasi persediaan makanan).

Peradaban-peradaban perdana ini (yang kemudian muncul bukan di daerah Bulan Sabit Subur saja, namun juga di tempat-tempat lain seperti di Cina, Amerika Tengah/Selatan, dst.) pada umumnya terletak di dekat sungai, untuk alasan yang sederhana yaitu tanah yang subur dan irigasi/pengairan tanaman. Namun, di sisi lain, tinggal di dekat sungai juga memiliki resiko, yaitu banjir.

Peradaban di Mesopotamia kuno (Sumeria) sendiri ditunjang oleh sungai Eufrat dan Tigris, dan, berbeda dengan pola banjir sungai Nil yang rutin dan lebih dapat diprediksi, pola banjir di sungai Eufrat dan Tigris lebih acak dan tidak dapat diprediksi. Pengalaman-pengalaman banjir di Sumeria seperti inilah yang mungkin menjadi dasar munculnya kisah Utnapisytim dalam Epik Gilgamesh, yaitu kisah yang menceritakan seseorang yang bernama Utnapisytim yang ditugaskan oleh ilah Enki/Ea untuk membuat sebuah bahtera besar supaya ia dan keluarganya dapat selamat dari air bah besar yang sebentar lagi akan melanda seluruh bumi.

Babel dan Penyebaran Manusia

Pertanyaan yang lebih sesuai ketika kita membaca sebuah mitos adalah ‘fenomena-fenomena alam atau sosial apakah yang berusaha untuk dijelaskan oleh mitos ini?’, atau yang biasa disebut dengan pendekatan etiologi (aitia = sebab). Contoh yang kita sempat bahas sebelumnya adalah mitos Sangkuriang, yang bertujuan untuk menjelaskan asal mula dari gunung Tangkuban Perahu. Kita akan menggunakan pendekatan yang sama untuk mengulas mitos-mitos purbakala dalam Kejadian 1-11, yang kita akan mulai dengan kisah Babel (Kej 11:1-9).

Kisah Babel cukup familiar bagi kebanyakan umat Kristiani. Umat manusia, satu bahasa dan satu logatnya, menetap di satu tempat dan membangun menara yang tinggi, dan Tuhan menyerakkan mereka ke seluruh bumi dan mengacaubalaukan bahasa mereka.

Cukup jelas fenomena apa yang menjadi dasar dari kisah ini, yaitu kenyataan bahwa manusia memang hidup tersebar-sebar di bumi dan memiliki bahasa yang berbeda-beda. Berdasarkan penemuan-penemuan arkeologi yang kita miliki sekarang, hipotesa yang paling umum diterima (yang tentunya masih bisa berubah detilnya jika ada penemuan-penemuan yang baru) untuk proses penyebaran Homo Sapiens (salah satu kecenderungan hubristik kita sebagai Homo Sapiens: menyebut dirinya dengan Homo Sapiens, manusia yang bijak) adalah kira-kira sebagai berikut. Homo Sapiens berasal dari Afrika Timur dan menyebar ke seluruh Afrika sekitar 150-200 ribu tahun yang lalu, kemudian keluar dari Afrika sekitar 70-100 ribu tahun yang lalu, mencapai berbagai belahan bumi yang lain (Eropa: 40-50 ribu tahun yang lalu, Australasia: 50-65 ribu tahun yang lalu, Amerika: 15-30 ribu tahun yang lalu, dengan Selandia Baru menjadi salah satu daerah yang paling akhir dihuni oleh manusia, yaitu sekitar 800 tahun yang lalu saja) dan kemudian membentuk bahasa yang berbeda-beda. Ada beberapa detil yang berbeda dan variasi penanggalan dalam hipotesa ini, namun secara umum gambaran besarnya seperti itu. Tentunya, penulis-penulis dan redaktur-redaktur kitab Kejadian tidak memiliki segala pengetahuan ini, dan karena itu *salah kaprah* jika kita berusaha untuk membandingkan kisah Babel ini dengan hipotesa penyebaran manusia berdasarkan penemuan arkeologi modern.

Maksud kisah Babel lebih untuk menjelaskan secara *teologis* mengapa manusia tersebar di seluruh bumi dan memiliki bahasa yang berbeda-beda. Yang menarik adalah, ketika turunnya Roh Kudus pada hari Pentakosta memutarbalikkan apa yang terjadi pada kisah Babel (Kis 2:1-11), kita tidak menemukan kembalinya manusia kepada satu bahasa yang sama. Yang kita temukan adalah setiap orang mendengarkan rasul-rasul itu berkata dalam bahasa mereka masing-masing. Keberagaman bahasa dirayakan. Yang membedakan adalah adanya pengertian terhadap bahasa-bahasa tersebut. Pentakosta menjadi cicipan realita yang akan datang di langit dan bumi yang baru, dimana umat manusia dari segala suku bangsa dan bahasa akan menyembah Allah. Karena itu, yang dikritik di kisah Babel ini bukan ketersebaran manusia dan keberagaman bahasa itu sendiri, namun lebih ke usaha manusia untuk menjadi seragam dan tidak terserak ke seluruh bumi (yang melawan kodratnya untuk memenuhi seluruh bumi seperti yang diperintahkan Allah di Kejadian 1). Keberagaman pada dasarnya bukan masalah, yang menjadi masalah adalah ketika manusia berusaha untuk menyeragamkan segala keberagaman yang ada dengan mengatasnamakan ke-‘satu’-an.

Kritik teologis-sosial-politik ini mungkin mengisyaratkan bahwa kisah ini sebenarnya berfungsi untuk mengkritik hegemoni kerajaan *Babel*, kerajaan yang menguasai daerah Mesopotamia pada abad 6-7 SM dan yang meruntuhkan kerajaan Yehuda dan membuang sebagian penduduknya ke Babel. Menara Babel yang dimaksud di sini kemungkinan merujuk kepada zigurat yang terdapat di kota Babel. Dengan demikian, salah satu pesan kisah ini adalah walaupun sekarang ini tampaknya kerajaan Babel yang berkuasa sementara kerajaan Yehuda porak-poranda, pada akhirnya kerajaan tersebut akan runtuh juga. Penulis bahkan berani meledek kerajaan Babel, dimana namanya diplesetkan/dikacaubalaukan dari Babel menjadi balal yang berarti campur aduk/kacau balau (Kej 11:9). Kisah ini akan memberikan pengharapan bagi bangsa Yehuda yang berada di pembuangan, yang mungkin merasa bahwa Allah telah meninggalkan mereka saat itu. Kisah yang sama juga menjadi peringatan bagi proyek-proyek Babel modern sampai sekarang. Proyek-proyek hubristik dimana manusia berusaha untuk meninggikan dirinya menjadi tuhan (termasuk di gereja!) pada akhirnya akan runtuh.

Terakhir, konteks kerajaan Babel ini menunjukkan anakronisme – lainmasa – dari kisah ini. Kisah ini memiliki setting purbakala, sebelum manusia tersebar ke seluruh bumi, namun juga mengikutsertakan elemen-elemen yang baru ada di jaman kerajaan Babel. Hal ini menunjukkan bahwa kisah ini, terlepas dari settingnya pada jaman purbakala, kemungkinan besar baru mencapai bentuk akhirnya pada atau setelah masa pembuangan Babel. Anakronisme seperti ini cukup umum dan tidak perlu dikhawatirkan. Hal ini menunjukkan bahwa kisah ini memang tidak bertujuan untuk dibaca sebagai sejarah sebagaimana yang kita mengerti saat ini. Pada dasarnya yang terjadi adalah penulis/redaktur kisah tersebut menggunakan setting jaman purbakala tersebut sebagai konteks peristiwa jamannya. Kita akan melihat anakronisme yang serupa pada kisah Nuh dalam wujud hewan yang haram dan tidak haram (klasifikasi yang baru ada pada jaman Musa!), yaitu kisah yang akan kita kupas di tulisan selanjutnya: Nuh dan air bah global.

Kejadian 1-11 dan Mitos Purbakala

Kata ‘mitos’ saat ini seringkali lebih diartikan sebagai keyakinan yang dipegang oleh sebagian orang namun sebenarnya tidak ada dasarnya atau salah. Contoh penggunaan mitos dalam arti ini, misalnya, ‘bahwa bentuk perut ibu hamil menandai jenis kelamin bayi itu adalah mitos.’ (ya, ini mitos) Padahal kata ‘mitos’ memiliki arti yang lain, yaitu kisah-kisah tradisional yang biasanya menyangkut asal muasal suatu peradaban tertentu, dimana mitos-mitos ini berusaha untuk menjelaskan fenomena-fenomena alam atau sosial yang fundamental soal peradaban tersebut, dan biasanya melibatkan ilah-ilah.

Mitos-mitos bisa saja (namun tidak mesti) didasari oleh kejadian yang historis atau fenomena alam yang nyata, namun biasanya diceritakan ulang lewat kejadian-kejadian yang supranatural dan hiperbolik. Dan, yang paling penting untuk kita catat adalah, kebenaran dari mitos-mitos ini tidak tergantung dari apakah ia didasari oleh kejadian yang historis atau bukan, secara sederhana karena mitos-mitos ini memang tidak dimaksudkan untuk dibaca sebagai sejarah sebagaimana yang kita pahami saat ini.

Mitos/legenda Sangkuriang (yang, interestingly, mirip dengan kisah Oedipus di mitologi Yunani), misalnya, bertujuan untuk menjelaskan asal muasal gunung Tangkuban Perahu, gunung Burangrang dan gunung Bukit Tunggul (i.e., mitos penciptaan lokal). Tidak relevan untuk bertanya apakah kisah Sangkuriang terjadi atau tidak (walau kemungkinan besar tidak). Bukan itu poinnya. Selain berfungsi sebagai mitos penciptaan lokal, mitos ini juga bertujuan untuk menjelaskan filosofi hidup orang Sunda lewat simbolisme-simbolisme yang diwakili oleh karakter-karakter mitos tersebut (salah satu pesan moralnya, mungkin: jangan kesiangan!).

Yang juga menarik dari mitos ini adalah referensi ke sebuah danau (yang mesti dibuat oleh Sangkuriang dengan membangun tanggul di sungai Citarum) dalam kisah tersebut. Dahulu kala, apa yang menjadi kota Bandung dan sekitarnya sekarang memang adalah sebuah danau yang terbentuk sekitar 100-125 ribu tahun yang lalu. Namun danau tersebut mengering sekitar 12-20 ribu tahun yang lalu. Karena itu, jika danau dalam kisah Sangkuriang ini memang merujuk kepada danau Bandung purba, hal ini berarti bahwa mitos ini mengandung memori yang sangat kuno dari orang Sunda purba, yang diwariskan secara turun-temurun lewat lisan sampai baru dituliskan di abad ke-15 Masehi. Tentunya, ketika kisah itu ditulis untuk pertama kali (dan seterusnya), kisah tersebut telah (dan akan) mengalami perubahan di sana sini dari versi awal kisah ini (yang entah apa itu), dan akan ada elemen-elemen yang anakronistik (tidak sesuai dengan masanya), misalnya, di beberapa versi kisah ini, settingnya adalah kerajaan, padahal kerajaan belum ada saat itu.

Setiap peradaban memiliki mitologi yang menjadi dasar dari peradaban mereka. Dan, dalam peradaban bangsa Israel kuno, mitos purbakala (primordial myth) ini kita temukan di Kejadian 1-11. Dalam kitab Kejadian, ada semacam pivot antara Kejadian 11 dan 12. Jika sebelumnya Allah berurusan dengan ciptaanNya dalam skala global (termasuk dalam kisah Nuh), setelahnya Allah berelasi dengan ciptaanNya dalam skala lokal, yaitu dimulai dengan Abraham dan keluarganya. Serupa dengan di atas, pertanyaan yang lebih tepat ketika kita membaca kisah-kisah ini bukan ‘apakah kisah-kisah ini sungguh-sungguh terjadi?’ namun lebih ke ‘pesan apa yang ingin disampaikan lewat mitos-mitos ini tentang Tuhan, manusia dan alam semesta?’

Alkitab: Inspirasi, Akomodasi dan Inkarnasi

Sebagian ‘ketegangan’ antara sains dan iman, jika dirunutkan ke akarnya, sebenarnya disebabkan oleh cara pandang yang keliru mengenai natur Alkitab itu sendiri. Kita mengakui Alkitab sebagai Firman Allah yang ditulis oleh manusia. Namun, secara praktis, seringkali natur Alkitab sebagai ‘Firman Allah’ saja yang ditekankan, sementara naturnya sebagai teks ‘yang ditulis oleh manusia’ dikesampingkan.

Alkitab sebagai Kitab Suci bukan berarti Alkitab adalah kitab yang turun dari langit, dimana setiap kita menerima begitu saja teks Alkitab langsung dari Allah. Proses penulisan kitab-kitab di Alkitab secara keseluruhan setidaknya membutuhkan waktu ratusan tahun dengan puluhan atau lebih penulis dan redaktur. Ketika kita berkata bahwa Alkitab “diilhamkan Allah” (2 Tim 3:16, theopneustos, lit. God-breathed), hal ini tidak berarti penulis-penulis ataupun redaktur-redaktur Alkitab dirasuki oleh roh Allah dan kehilangan kontrol atas diri mereka. Hal ini juga tidak berarti penulis-penulis Alkitab hanya mendiktekan apa yang mereka dengar dari Allah. Sebaliknya, penulis-penulis Alkitab sepenuhnya menyadari apa yang mereka tulis dan terlibat sepenuhnya dalam proses penulisan tersebut.

Hal ini berarti bahwa Alkitab ditulis dengan segala konteks cara pandang penulisnya saat itu. Alkitab bukanlah kitab yang asing bagi para pembacanya mula-mula, justru Alkitab adalah kitab yang akan familiar (namun subversif!) dengan jamannya. Calvin menyebut ini sebagai akomodasi ilahi, dimana Allah, yang tidak dapat dimengerti, berkomunikasi dengan manusia dengan cara yang manusia dapat mengerti. Sementara Enns menyebut ini sebagai Alkitab yang inkarnasional, seperti Yesus yang sepenuhnya Allah dan sepenuhnya manusia. Yesus lahir dan hidup sebagai manusia keturunan Yahudi yang tinggal di tanah Palestina abad pertama. Ia tidak datang sebagai manusia dari Amerika Serikat abad ke-21 yang masuk ke abad pertama. Serupa dengan itu, Alkitab bukanlah buku dengan cara pandang abad ke-21. Kitab-kitab di Alkitab ditulis dengan konteks cara pandang setiap jaman kitab itu ditulis. Justru menjadi aneh jika kita, misalnya, menemukan adanya tenaga listrik di Alkitab, secara sederhana karena tenaga listrik belum ditemukan saat berbagai kitab itu ditulis. Karena itu, jika kita menemukan bahwa kosmologi yang digunakan dalam Perjanjian Lama adalah bumi yang datar dan menjadi pusat tata surya, hal ini tidak berarti bahwa Alkitab itu salah (atau sebaliknya, bahwa kita mesti membela mati-matian bahwa bumi itu datar). Hal ini hanya berarti bahwa Alkitab memang produk jamannya dan menggunakan asumsi-asumsi saintifik pada jaman tersebut.

Alkitab dihormati justru jika kita menempatkan berbagai kitab di dalamnya sesuai dengan jamannya masing-masing. Sebagai pembaca modern, kita tidak bisa menghindari membaca Alkitab seturut kacamata kita dari abad ke-21. Namun, sebisa mungkin kita harus berusaha untuk membaca setiap kitab dalamnya sesuai dengan konteks jaman kitab itu ditulis, dimana hal ini termasuk teks-teks peradaban lain yang ditulis pada kurun waktu yang serupa. Selanjutnya, kita akan melihat bagaimana pola pandangan seperti ini memengaruhi bagaimana kita memaknai apa yang boleh kita sebut sebagai narasi-narasi purbakala dalam kitab Kejadian.

The Caliph

Recently there has been discussions about the caliphate in Indonesia, but I think the majority of Indonesian Christians are ignorant of the history of the caliphate and what it actually entails. Since ignorance is not bliss (see: Trump), here’s a 3-part documentary from Al Jazeera on the caliphate.